Jumat, 04 Desember 2009

Investor Cina garap investasi pertambangan di Aceh Timur


LANGSA - Wan Yang Zhongsheng Investement Company Limited asal Beijing, Cina menjadi operator dalam industri pertambangan timah hitam di kabupaten Aceh Timur.

Kesepakatan Wan Yang menjadi operator tersebut setelah penandatanganan perjanjian dan kontrak kerjasama antara pihak Wan yang dengan pemerintah Aceh Timur yang berlangsung di pendopo Aceh Timur kemarin.

Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Timur, Syaifannur, pagi ini, mengatakan, perjanjian kerjasama dan penandatanganan kontrak tersebut menyangkut investasi pertambangan timah hitam dalam bentuk konsorsium (perseroan terbatas).

Dikatakan, dalam waktu enam bulan kedepan setelah dilakukannya tandatangan kontrak kerjasama telah ada realisasi dilapangan.

“Dalam rentang waktu tersebut nantinya akan dibentuk satu perusahaan yang menangani masalah penambangan timah hitam ini yang diberi nama PT.Meuligoe Timue Mining Zhongsheng,katanya.


Kedua belah pihak, katanya, akan melakukan survey lokasi timah hitam yang dimulai dari kecamatan Simpang Jernih sampai dengan kecamatan Serba Jadi dan kecamatan lainnya.

Diharapkan, dalam survei tersebut ditemukan bukan saja timah hitam akan tetapi ada komoditas atau mineral lainnya yang juga bisa dikembangkan semaksimal mungkin untuk menambah Pendapatan Asli Daerah.

Bupati Aceh Timur, Muslim Hasballah, mengatakan sejauh ini sumber daya alam di kabupaten Aceh Timur baik yang sudah di exploitasi maupun yang belum di exploitasi antara lain minyak dan gas bumi yang terdapat di beberapa tempat.

Kita memiliki cadangan batu kapur, dolomite, timah hitam, seng, tembaga, batu gamping dan molibdenit yang cukup besar, namun sampai saat ini belum digarap,” katanya.

Sebagai bentuk komitmennya pihak Wan Yang memberikan modal sebesar US $ 2.500.000,- sebagai modal pendirian perseroan terbatas, komitmen tersebut merupakan sebagian dana yang akan diinvestasikan sebesar US $. 10.000.000.

Jumat, 27 Februari 2009

Tambang Bukan Satu-Satunya Perusak Hutan

25 Februari 2009
www.majalahtambang.com
Jakarta – TAMBANG. Kerusakan hutan Indonesia yang teramat parah, tidak hanya diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Banyak kegiatan pembangunan lainnya, seperti pembangunan jalan dan jembatan, juga pemekaran daerah, yang berdampak pada hancurnya ekosistem rimba raya.

Maka dari itu, Prof Dr Emil Salim merekomendasikan, penyusunan pedoman reklamasi harus pula melibatkan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

Tampil sebagai Keynote Speaker dalam “Workshop Pedoman Evaluasi Keberhasilan Reklamasi Hutan”, yang digelar Forum Reklamasi Hutan Pada Lahan Bekas Tambang, di Gedung Manggala Wanabakti, Komplek Departemen Kehutanan, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Rabu, 25 Februari 2009, Emil Salim mengungkapkan pentingnya keterlibatan aspek tata ruang dalam mengevaluasi keberhasilan reklamasi.

“Hal ini untuk menentukan, apakah reklamasi harus persis dengan rona semula (sebelum ditambang)? Kalau itu yang dimau, tentunya semua infrastruktur yang sudah dibangun, harus dibongkar semua. Tapi kan masyarakat butuh infrastruktur?,” ujarnya.


Di sinilah aspek tata ruang masuk, sebagai intervensi pemerintah atas management resources (manajemen sumber daya alam). Tambang boleh mendapatkan pinjam pakai kawasan hutan, asalkan ketika tambang berakhir pembangunan berkelanjutan tetap berlangsung.

“Indikator tetap berlangsungnya pembangunan berkelanjutan, ialah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial terpenuhi, plus kualitas lingkungan tidak turun,” jelas Emil yang kini menjabat Penasihat Presiden RI Bidang Lingkungan.

Dia pun mengungkapkan, saat ini kerusakan hutan tidak hanya diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Justru insan pertambangan sudah semakin memahami pentingnya daya dukung lingkungan, dan sustainable development. Saat ini, kerusakan hutan justru datang dari aktivitas politik yang tak terkontrol.

Dia mencontohkan, pemekaran Kabupaten Buton dan Muna, di Sulawesi Tenggara, yang menimbulkan daerah-daerah baru. Sebelumnya di Buton dan Muna ada hutan suaka yang menjadi habitat satwa langka Anoa dan burung Maleo.

Pemerintah di daerah-daerah baru itu berencana membuka hutan yang merupakan suaka margawasatwa, menjadi kota kabupaten dan jalan akses. Jika rencana itu benar-benar dijalankan, maka punahlah hutan sebagai habitat Maleo dan Anoa.

Demikian pula dengan salah satu daerah di Kalimantan, yang berencana membuat jalan tembus lintas provinsi. Pembangunan jalan itu akan membuka hutan, dan merusak habitat serta ekosistem yang ada di dalamnya.

Dari sana dapat disimpulkan, rusaknya hutan bukan hanya akibat penambangan. Maka dari itu, reklamasi tidak hanya tanggung jawab Departemen Kehutanan (Dephut) serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Menteri PU dan Mendagri juga harus diundang untuk menyusun pedoman reklamasi. Jangan seperti yang sudah pernah terjadi, tambang tidak diizinkan beraktivitas di kawasan hutan lindung, tapi hutan lindung boleh dibuka untuk jalan tol. Ini merupakan kesalahan besar,” tandas Emil Salim.

Jumat, 09 Januari 2009

Tambang, Lingkungan & Masyarakat


KTT Bumi (Earth Summit) Rio de Janeiro, 1992 menjadi salah satu tonggak perubahan mind set INDUSTRI DUNIA TERMASUK pertambangan di Indonesia. Paradigma yang selama ini bertumpu pada pertumbungan ekonomi (economic growth) mulai diarahkan menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu gagasan yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya.

Strategi Pembangunan Berkelanjutan adalah integrasi ekonomi, ekologi dan sosial. Berpijak dari konsep pembangunan tersebut maka terdapat 3 elemen yang mendukung masing-masing stakeholder (korporat, pemerintah dan masyarakat sipil) yaitu keberlanjutan secara ekonomi, keberlanjutan secara sosial, dan keberlanjutan lingkungan, di mana ketiga elemen ini saling berinteraksi dan mendukung. Termasuk pula di dalam sektor pertambangan.

Pertambangan, Lingkungan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Sebagai industri yang berpaling ke arah lingkungan dan sosial, ada beberapa ciri-ciri praktek pertambangan yang baik yang secara umum digambarkan sebagai berikut:

  1. Mematuhi kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Mempunyai perencanaan yang menyeluruh tentang teknik pertambangan dan mematuhi standar yang telah ditetapkan
  3. Menerapkan teknologi pertambangan yang tepat dan sesuai
  4. Menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan di lapangan
  5. Menerapkan prinsip konservasi, peningkatan nilai tambah, serta keterpaduan dengan sektor hulu dan hilir
  6. Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja bagi para karyawan
  7. Melindungi dan memelihara fungsi lingkungan hidup
  8. Mengembangkan potensi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat
  9. Menghasilkan tingkat keuntungan yang memadai bagi investor dan karyawannya
  10. Menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan setelah periode pasca tambang.

Teknik Penambangan

Teknik penambangan menjadi salah satu penentu karakteristik tambang terhadap lingkungan. Teknik penambangan yang baik (good mining practice) mesti sudah ahrus dilakukan sejak eksplorasi, konstruksi, eksploitasi, pengolahan/pemurnian, pengangkutan sampai dengan tahap pascaoperasi (mining closure) sehingga penting dalam pengoperasian kegiatan pertambangan. Teknik penambangan juga memperhatikan teknik efektif dan efisien (cost effective) baik dari aspek teknis, lingkungan maupun ekonomi.

Perlindungan Lingkungan Pertambangan dan Pasca Tambang

Pertambangan tidak dipungkiri memang berpotensi menyebabkan gangguan terhadap lingkungan, termasuk fungsi lahan dan hutan. Tekanan yang besar terhadap lingkungan ini diakibatkan oleh perilaku beberapa kegiatan pertambangan yang memang harus dikoreksi serta ketidaktahuan masyarakat untuk memanfaatkan teknologi pertambangan yang benar. Keawaman ini memunculkan persepsi keliru terhadap pertambangan keseluruhan. Salah satu tujuan kegiatan pertambangan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat karenanya segala kegiatan yang menyebabkan keresahan masyarakat termasuk kerusakan lingkungan ditanggulangi.

Selain itu untuk mendukung pembangunan berkelanjutan pasca tambang, perlu ada kebijakan penutupan tambang (mining closure regulation) sejak awal sehingga mampu mendorong setiap aktivitas pertambangan mempunyai konsep penataan lahan bekas tambang agar aman dan tetap mempunyai fungsi lindung lingkungan. Selain itu, konsep pemanfaatan lahan eks tambang harus disesuaikan dentgan rencana tata ruang dan rencana pengembangan daerah dengan melibatkan kesepakatan tiga aktor pembangunan, yaitu industri pertambangan, pemerintah, dan masyarakat. Pelaksanaan penutupan tambang wajib memenuhi prinsip-prinsip lingkungan hidup, K3, serta konservasi bahan galian.

Manfaat dari adanya dokumen rencana penutupan tambang adalah publik bisa mengetahui bahwa lahan bekas tambang masih dapat memberikan manfaat, sehingga bisa memberikan pelurusan pertambangan hanya memberi manfaat selama masa kegiatan, namun menjadi bencana bila kegiatan pertambangan berakhir. Hingga saat ini sudah ada beberapa perusahaan tambang yang melakukan proses penutupan tambang yang cepat dan relatif sederhana namun efektif dalam pelaksanaannya, hingga yang rumit dan sangat mendetail serta melibatkan banyak stakeholders namun mampu memberikan bukti yang jelas.


Jumat, 19 Desember 2008

UU MINERBA DISKRIMINATIF

Pengusahaan dan pengelolaan pertambangan, khususnya mineral dan batu bara, memasuki era baru dengan disetujuinya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) oleh DPR pada Selasa. Era baru itu ditandai dengan pemberian izin oleh pemerintah bagi pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba.
Sebelumnya, berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, pengusahaan
dan pengelolaan pertambangan di negeri ini menggunakan pola kontrak karya. Dengan pola ini, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia dari pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba dinilai tidak maksimal, karena posisi negara yang sejajar dengan perusahaan pertambangan.

Padahal, negara merupakan pemilik seluruh deposit minerba yang ada di perut bumi Indonesia. Seluruh kekayaan tambang itu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, kehadiran UU Minerba merupakan angin segar bagi upaya memanfaatkan seluruh kekayaan tambang semaksimal mungkin. Apalagi UU ini memiliki sedikitnya empat kelebihan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967.

Pertama, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin oleh pemerintah. Dengan pola ini, posisi negara berada di atas perusahaan pertambangan, sehingga negara memiliki kewenangan untuk mendorong perubahan kesepakatan bila ternyata merugikan bangsa Indonesia.

Kewenangan ini tidak ditemukan dalam pola perjanjian kontrak karya. Pada pola ini, perusahaan pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara. Perubahan atas kontrak hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak.

Kedua, memperjelas desentralisasi kewenangan pengelolaan pertambangan. Artinya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di wilayahnya.

Kewenangan tersebut memungkinkan daerah memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari pengusahaan terhadap pertambangan minerba tersebut. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.

Ketiga, mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah pertambangan. Pengakuan ini penting mengingat selama ini kegiatan pertambangan rakyat dikategorikan liar dan ilegal, sehingga dilarang dengan ancaman hukuman yang cukup berat.

Padahal, kegiatan ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara turun-temurun di sekitar lokasi pertambangan yang diusahakan, baik oleh BUMN maupun swasta. Kalau demikian faktanya, mengapa pertambangan rakyat mesti dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan ilegal? Bukankah rakyat juga memiliki hak untuk memanfaatkan kekayaan minerba untuk kemakmurannya?

Keempat, UU Minerba mewajibkan perusahaan pertambangan yang sudah berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Kehadiran pabrik itu penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang minerba, selain membuka lapangan kerja baru bagi rakyat Indonesia.

Pembangunan pabrik pengolahan itu juga akan menimbulkan trickle down effect bagi masyarakat di sekitar lokasi pabrik. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat di sekitar lokasi pabrik.

Namun, UU Minerba dinilai diskriminatif, sehingga tiga fraksi di DPR-PAN, PKB, dan PKS-memilih walk out ketika sidang paripurna pengesahan UU itu. Diskriminatif karena UU itu jelas-jelas melindungi kepentingan perusahaan tambang, pemegang kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Kebanyakan kontrak perusahaan pertambangan yang ada baru berakhir pada 2021-2041.

Oleh karena itu, UU Minerba rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Kalau demikian keadaannya, dapatkah UU itu mengatur pengusahaan dan pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia?

Senin, 15 Desember 2008

Tambang Emas Diupayakan Legal


* Wabup: Tim Akan Turun ke Gunong Ujeuen

Serambi , 15 Desember 2008
CALANG-Pemkab Aceh Jaya masih terus melakukan koordinasi dengan lembaga teknis untuk mengupayakan lokasi tambang emas di Gunong Ujeuen, Kecamatan Krueng Sabe tetap bisa dikelola dengan baik oleh masyarakat. “Tim Pemkab dan Dinas Pertambangan Pemprov sudah sudah duduk bersama guna turun ke Gunong Ujeuen,” kata Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, Minggu (14/12).

Menjawab Serambi, Zamzami menyatakan prihatin dengan korban jiwa di lokasi tambang mas Gunong Ujeuen yang sudah beberapa hari terakhir kembali diserbu warga pascaditutupnya lokasi itu oleh Pemkab beberapa pekan lalu. Tim dari Pemkab dan Dinas Pertambangan Aceh sudah duduk bersama beberapa hari lalu guna membahas lokasi itu sehingga dengan harapan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lokasi lapangan kerja.

Namun, tim juga mengkaji apakah dimungkinkan atau tidak untuk tetap digali oleh warga tetapi tidak merusak lingkungan setempat. Bahkan, jelas Zamzami harapan tidak terjadi lagi longsor sehingga lokasi Gunong Ujeuen benar-benar bermanfaat, sebab masyarakat kini sangat berharap lokasi itu bisa digali guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hasil koordinasi dengan masyarakat menyimpulkan korban yang meninggal di lokasi Gunong Ujeuen memang dalam keadaan sakit. Dan ia berhadap tim bersama yang akan ke lokasi dapat membawakan hasil yang baik dengan harapan bisa legal digali oleh masyarakat.

“Jadi memang serba salah, warga di lokasi itu menggali sebagai pekerjaan sehari-hari menutupi kebutuhan hidup karena sulit mencari pekerjaan lain,” sebut Zamzami.

Sumber di Krueng Sabe menambahkan pada Minggu (14/12) lokasi Gunong Ujeuen tetap dipadati warga menggali batu emas. Mereka juga prihatin terhadap meninggalnya lagi warga di lokasi yang merupakan musibah kedua dalam beberapa waktu terakhir.

“Korban yang meninggal itu memang dalam keadaan sakit, jadi ia tetap menggali sehingga meninggal di lokasi,” tukas Razali, tokoh warga Kecamatan Krueng Sabe.

Seperti diberitakan seorang warga Kecamatan Krueng Sabe, Aceh Jaya, M Yusuf Ali, Sabtu (13/12) sore menjadi korban di lokasi penambangan emas Gunong Ujeuen. Korban meninggal diduga karena kelelahan dan sakit. Sebelumnya, korban yang meninggal Abdurrahman warga Mon Mata Kecamatan Krueng Sabe karena tertimbun longsor ketika sedang menggali. Pascamusibah itu, lokasi tambang ditutup, tetapi dalam beberapa hari terakhir kembali diserbu warga.(riz)

PETI (Penambang Tanpa Izin )

Peti................................................
Kegiatan usaha pertambangan tanpa izin (PETI) secara substansial menunjang pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah-wilayah tersebut, kebanyakan operasi penambangan menimbulkan kerusakan lingkungan atau tata ruang penggunaan lahan serta mengabaikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Hingga saat ini pertumbuhan PETI semakin berkembang tidak saja terhadap bahan galian emas tetapi juga batubara, bahkan dilakukan di sekitar/sekeliling wilayah-wilayah pertambangan resmi berskala besar sehingga mengakibatkan terjadinya konflik dengan para pemegang izin usaha pertambangan tersebut. Perkembangan PETI sudah mencapai tahap yang cukup menghawatirkan karena juga menimbulkan tumbuhnya perdagangan produk pertambangan di pasar-pasar gelap (black market trading), yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap penghindaran pajak resmi penjualan produk pertambangan. Mengantisipasi kemungkinan peningkatan dampak negatif di masa mendatang dari keberadaan PETI, seyogyanya Pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan upaya penerapan kebijakan yang tepat untuk mengubah status pertambangan tersebut menjadi pertambangan resmi berskala kecil. Diperlukan pembuatan kebijakan yang baru atau memodifikasi produk hukum lama, melalui upaya analisis atau sintesis terhadap peraturan tentang pertambangan skala kecil. Pertambangan skala kecil hendaknya berorientasi kepada keekonomian masyarakat setempat, penjagaan keseimbangan lingkungan dan tata ruang wilayah pertambangan, serta yang terpenting memberikan kontribusi kepada kepentingan pembangunan sosial ekonomi khususnya daerah otonom dan pada gilirannya berpengaruh secara nasional.

Minggu, 14 Desember 2008

Lagi, Penambang Emas Tewas di Gunong Ujeuen


Serambi, 14 Desember 2008

BANDA ACEH - Seorang lagi penambang emas tradisional di Gunong Ujeuen, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya menemui ajal di lokasi tambang tersebut, Sabtu (13/12) sore. Korban bukan tewas akibat tertimbun di lubang galian tetapi meninggal ketika beristirahat karena keluhan sakit kepala.

Kasubbag Humas Setdakab Aceh Jaya, Fajri kepada Serambi tadi malam menginformasikan, penambang yang meninggal di lokasi Gunong Ujeuen kemarin bernama M Yusuf Ali Mekanik. Almarhum merupakan adik dari Ruslidar, Ketua Lorong II Desa Keutapang, Kecamatan Krueng Sabee.

Menurut informasi yang diterima Fajri dari Razali, warga Desa Kayee Seumantok, Kecamatan Krueng Sabee, kematian M Yusuf sangat mengejutkan rekan-rekannya sesama penambang.

Soalnya, menjelang meninggal, Yusuf sempat mengeluhkan sakit kepala dan ia langsung beristirahat. Ketika sudah sore dan menjelang pulang, kawan-kawannya membangunkan. “Saat itulah kawan-kawan Yusuf terperanjat karena mendapati Yusuf sudah tak bernyawa. Suasana duka dan kesedihan melingkupi lokasi penambangan tersebut,” ujar Fajri.

Dari lokasi penambangan, jenazah Yusuf ditandu oleh rekan-rekannya ke Desa Geunie (Panggong) yang berjarak sekitar enam kilometer dan selanjutnya dibawa pulang ke rumah duka.

Sebelumnya, pada 20 November 2008, salah satu titik galian runtuh menyebabkan seorang dari enam penambang yang sedang mencari batu emas di lubang itu tewas tertimbun. Penambang yang menemui ajal waktu itu bernama Abdurrahman bin Daud (35), warga Mon Mata, Kecamatan Krueng Sabee.

Beroperasi kembali

Sekitar 10 hari setelah tragedi itu, masyarakat melakukan doa bersama di Gunong Ujeuen, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Setelah doa bersama itu warga memulai lagi aktivitas penambangan sebagai mata pencaharian sehari-hari. Warga mengaku tak punya pilihan untuk mencari sumber ekonomi, sehingga tak menggubris larangan penambangan yang telah dikeluarkan Pemkab Aceh Jaya.(nas)